TEROPONGNUSA.COM | JAKARTA
– Korupsi adalah penyakit kronis yang perlu diobati. Sejak era reformasi
bergulir korupsi tak pernah surut
malahan kian menggila. Sebut saja korupsi ASABRI Rp23 triliun yang kini
ditangani Kejagung. Sampai Bansos untuk
kaum marjinal pun diembat.
Menyikapi hal itu,
Political and Public Policy Studies (P3S), Gerakan Indonesia Anti Korupsi
(GIAK) dan Esensinews.com menggelar webinar yang bertajuk, 23 Tahun Reformasi :
Indonesia dalam Pusaran Korupsi, Jumat (11/06/2021).
Tampil sebagai
narasumber awal, Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan nilai
religiusitas dalam tubuh lembaga antirasuah sengaja dihilangkan. Lanjut Saut
hal itu masih berkaitan dengan isu adanya radikalisme dan taliban di dalam
tubuh lembaga antirasuah.
“Nilai religius itu
diubah sama KPK yang sekarang, karena mungkin berpikir religius itu dekat
dengan yang taliban-taliban itu,” ucapnya.
Dia meyebut saat
dirinya masih memimpin lembaga antirasuah, nilai yang harus dimiliki oleh insan
KPK adalah religiusitas, integritas, keadilan, profesionalitas, dan
kepemimpinan atau yang disingkat RI-KPK.
Namun nilai-nilai
itu diubah sejak UU KPK berhasil direvisi. Nilai-nilai itu diubah oleh Dewan
Pengawas KPK dalam susunan kode etik terhadap insan KPK. Dewas menghapus nilai
religiusitas dengan sinergitas.
Saat itu Ketua
Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan penambahan sinergitas karena
dalam UU versi revisi mengharuskan KPK melakukan kerja sama, koordinasi, dan
supervisi dengan lembaga lain.
“Ini persoalan
perilaku, sehingga integritas bermasalah. Perlu pencegahan dan penindakan
karena keduanya harus seimbang,” ungkap Situmorang.
Di sisi lain,
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan menjelaskan berbicara
23 tahun pasca reformasi, ini bukan waktu yang singkat. Jadi ada satu
kesimpulan awal, bahwa sejarah pemberantasan korupsi adalah tuntutan
masyarakat.
“Kenapa dukungan
publik sangat perlu, karena beberapa kasus OTT KPK tidak pernah ada nama
menteri. Nanti ketika dilapangan ditemukan petunjuk. Maka perlu tuntutan
masyarakat,” ucapnya.
Tak kalah penting,
perlunya independensi lembaga dan independensi pegawainya.
“Jangan penegak
hukum terlibat konflik kepentingan,” terangnya.
Selanjutnya saat
memaparkan materinya, Sekretaris Transpransi International Indonesia (TII)
Wawan Suyatmiko, dengan berbagai survei, lembaga yang menempati top utama
terkorup adalah legislatif kemudian disusul oleh pejabat pemerintah daerah.
Bahkan, dari 30
provinsi di Indonesia yang di survei, banyak dari responden pernah ditawarkan
suap.
“Dalam pemilihan
kepala daerah banyak yang dapat sponsor. Jadi tidak ada makan siang gratis,”
terang Suyatmiko.
Jadi tandasnya,
ketika saat ini banyak masyarakat tidak suka dengan KPK adalah suatu yang
wajar.
Sementara l,
Asfinawati dari Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) banyak menyoroti
terkait ‘Omnibus law’ yang ada indikasi korupsi. Bahkan sejumlah kejanggalan
pun diungkapnya
Menurut dia, bangsa
kita saat ini bukan lagi mengalami korupsi, sesungguhnya korupsi kembali
menguasai negara.
Lebih para lagi
sebut dia UU Cipta Kerja menempatkan pejabat kepala daerah, baik gubernur,
bupati, hingga wali kota di bawah presiden dan ini memberi kewenangan yang
sangat luar biasa kepada pejabat dalam tata kelola pemerintahan.
“Tidak ada
keinginan kita dari pemerintah untuk memberantas korupsi secara tuntas karena
ada kepentingan,” kata Asfinawati.
Jerry Massie selaku
Direktur Political adn Public Policy Studies (P3S) menyoroti kegilaan korupsi
yang terjadi di Indonesia sejak era reformasi, para koruptor saat ini dengan
bangganya mempertontonkan keserakahan dan ketamakan mereka.
“Seperti di negara
luar, pelaku korupsi ada yang ditembak mati, atau duduk di kursi listrik sampai
mati, ada pula yang digantung,” tegas Jerry.
“Jika hukuman mati
terlalu berat, pelaku korupsi sebaiknya dimiskinkan saja sampai keturunan ke-8.
Nanti biaya pendidikan anak-anaknya akan di biayai oleh negara,” kata Jerry.
Jangan jadi budaya
seperti saat ini, pelaku korupsi masih diberikan waktu dan kesempatan di
pemerintahan.
“Jika ketegasan
dilakukan maka pelaku korupsi akan takut,” sambung pria yang melang melintang
di dunia politik tersebut.
Sepakat dengan
tingginya korupsi dan jauh harapan penanganan, karena korupsi yang penyuapan
sudah menyasar juga kantor pelayanan publik.
“Contoh kantor
pertanahan, ada biaya-biaya, sampai saat ini tidak jelas standar mengaturnya,”
sentil Direktur IBSW Nova Andika. Bahkan ketika ada kepala daerah yang terkena
OTT tentunya sangat miris.