(Anwar Hafid, anggota Komisi II DPR RI Fraksi |
TEROPONGNUSA.COM | MOROWALI
– Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid merasa
sangat berdosa dengan masyarakat di Morowali. Sebab, apa yang dilakukannya
selama ini dalam memperjuangkan lahan transmigrasi yang didiami warganya hingga
kini belum membuahkan hasil.
Merujuk pada
pernyataannya dalam rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Agraria dan
Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Sofyan A Djalil kemarin,
ia mengingatkan komitmen Presiden Joko Widodo soal transmigrasi.
“Kita mau bela
yang mana? Bela yang kaya atau membela masyarakat? Mereka (transmigran) itu
orang susah kemudian dipindahkan supaya taraf hidupnya bisa lebih baik. Tapi
kalau mereka ditelantarkan, negara ada dimana? Padahal Pak Presiden selalu
bilang, negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat,” tegas Anwar
Hafid.
Mantan Bupati
Morowali itu mengungkapkan, dirinya sudah lama memperjuangkan transmigran di
Morowali agar mendapatkan hak-haknya. Soal lahan transmigran yang diambil salah
satu perusahaan itu bahkan pernah disampaikan kepada Pemerintah Pusat.
Saat menjabat
sebagai kepala daerah, dirinya secara resmi juga sudah menyampaikan surat ke
Badan Pertanahan Negara (BPN). Dimana isinya meminta agar lahan yang didiami
transmigran dilakukan enclave atau tidak dimasukan dalam surat ukur. Disertakan
dalam surat itu berbagai dokumen pendukung agar lahan transmigran dilakukan
enclave.
“Tetapi
(setelah) surat saya itu, terbit HGU, semua lahan transmigrasi masuk dalam HGU
perusahaan, PT Citra. Jadi surat kami itu tidak ada manfaatnya,” jelas
Anwar.
Dengan terbitnya
sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Cahaya Idola Tunggal Rona Alam (CITRA),
masyarakat yang mendiami lahan tanpa sertifikat. Ia menyayangkan warganya yang
mengharapkan peningkatan taraf hidup dengan mengikuti program transmigrasi,
namun saat ini justru terlunta-lunta.
“Bayangkan,
masyarakat hari ini tidak punya sertifikat. Ini, saya minta ke fraksi saya
dibawa ke Komisi II karena ini pak, ini dosa bagi saya. Kenapa dosa? Karena
saya yang mendatangkan transmigran itu yang sampai hari ini mereka belum
memiliki sertifikat,” kata Anwar.
“Datang
perusahaan, mereka (transmigran) tidak tahu pak, saya punya HGU, maka lahan
transmigrasi, lahan kebun, ditanami sawit, tidak bisa berkutik,”
sambungnya.
Anwar Hafid juga
mengungkapkan kasus sengketa lahan dengan PTPN XIV, tepatnya di Morowali Utara.
Lahan milik masyarakat yang sudah dikelola bertahun-tahun, baik dalam bentuk
persawahan, perkebunan bahkan sampai pemukiman, tiba-tiba keluar HGU.
Dia meminta Menteri
Sofyan Djalil mengambil tindakan tegas dan memberlakukan status quo atas
permasalahan lahan yang dihadapi masyarakat.
Pemegang sertifikat HGU bisa dengan mudahnya memperoleh pengakuan.
Bahkan, pemegang HGU
bisa menggunakan segala kekuatan negara untuk mengusir masyarakat. Menteri
Sofyan Djalil diajaknya untuk mengecek langsung kondisi masyarakat saat ini di
Morowali Utara dan mengambil keputusan tegas.
“Kalau Pak
Menteri punya keberanian besar, saya kira dicek, diperintahkan bahwa lokasi ini
sementara dalam penyelesaian di kementerian, agar semua aktifitas perusahaan
tidak dilakukan, rakyat sudah puas itu pak. Daripada mereka setiap hari di situ,
melihat, apalagi ini lahan transmigrasi. Kasihan mereka,” kata dia.
Pentingnya Menteri
ATR/ BPN meninjau langsung perlu dilakukan, karena belakangan kepala daerah
setempat mengalah dengan pihak perusahaan. Yakni dengan mencarikan lahan baru
sebagai pengganti lahan yang didiami transmigran sekarang.
“Bagaimana ini
kira-kira, ini swasta, transmigrasi ini perintah Undang-Undang, perintah
negara, mereka hadir di sana dalam rangka pengentasan kemiskinan. Mereka
meninggalkan kampungnya, datang mencari hidup tapi kemudian mereka terlantar.
Saya yang merasa berdosa, karena saya yang menandatangani lahan itu untuk
transmigrasi,” ucap Anwar.
Mendapati
pernyataan Anwar Hafid, Menteri Sofyan A Djalil mengaku sedih. Ia berjanji akan
menindak lanjuti di lapangan. Sofyan mengatakan jika para transmigran itu
menempati kawasan hak pengguna lain (HPL), maka sertifikat HGU yang diterbitkan
tidak sah dan dapat dipidana.
“Sedih sekali
kasus yang bapak ceritakan,” ucapnya.
Menteri Sofyan
menjelaskan Presiden Joko Widodo menetapkan program tanah reforma agraria
(Tora) seluas sembilan juta hektare. Program itu berdasarkan skema RA RPJMN
2015-2019 dan tetap dilanjutkan pada RPJM 2020-2024.
Tora terbagi dalam
dua program yakni legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare dan redistribusi
tanah 4,5 juta hektare. Hingga 30 Januari 2021, Tora legalisasi aset seluas 4,5
juta hektare telah dilakukan untuk tanah transmigrasi yakni sertifikasi hak
milik tanah transmigrasi dengan target 0,6 juta hektar, telah tercapai 168.819
bidang seluas 113.109 hektare atau 18,85 persen.