Oleh : GUS IMAM (Pemerhati Pendidikan)
TEROPONGNUSA.COM – Hari Guru Nasional 2024 kembali menjadi momen refleksi kolektif bagi bangsa. Di balik hiruk-pikuk perayaan dan retorika apresiasi, ada sekelompok pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja dalam senyap: guru-guru Raudhatul Athfal (RA). Mereka tidak hanya sekadar mengajarkan alfabet atau angka; mereka adalah arsitek karakter bangsa, mendesain fondasi nilai-nilai moral dan spiritual yang akan menjadi navigasi generasi muda di tengah derasnya arus globalisasi. Namun, ironisnya, di tengah peran vital ini, mereka justru terjebak dalam jurang kesenjangan kesejahteraan yang kian melebar.
Guru-guru RA adalah pelopor pembentukan platform karakter anak sejak usia dini. Dengan pendekatan holistik, mereka memadukan pendidikan spiritual, intelektual, dan emosional untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral. Di era digital, di mana informasi dapat diakses dengan sekali klik, tantangan membangun karakter menjadi semakin kompleks. Anak-anak bukan lagi hanya menghadapi persaingan akademik, tetapi juga ancaman degradasi moral yang terselubung dalam algoritma media sosial, konten digital yang tidak terfilter, dan budaya instan.
Namun, perjuangan mereka sering kali dilupakan dalam diskursus pendidikan nasional. Data menunjukkan bahwa sebagian besar guru RA, terutama di lembaga swasta, hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Gaji mereka sering kali di bawah upah minimum regional, tanpa jaminan sosial, kesehatan, atau akses pelatihan profesional yang memadai. Dalam istilah teknologi, mereka bekerja dengan “outdated operating systems” di tengah tuntutan “high-speed performance.” Bagaimana kita bisa mengharapkan mereka mencetak generasi unggul jika mereka sendiri terjebak dalam siklus ketidakadilan struktural?
Ironi ini menggambarkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan sumber daya manusia di sektor pendidikan. Guru RA, yang bekerja di garis depan pendidikan usia dini, sering kali diabaikan dalam kebijakan alokasi anggaran. Padahal, investasi dalam pendidikan usia dini memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, sebagaimana dikemukakan oleh berbagai studi global. Efek “multiplier” dari pendidikan usia dini tidak hanya mencakup peningkatan kualitas SDM, tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi bangsa di masa depan.
Dalam konteks ini, pemerintah dan masyarakat perlu memahami urgensi redistribusi prioritas. Jika platform pendidikan adalah sebuah ekosistem, maka guru RA adalah inti sistem yang memastikan keberlangsungan dan keseimbangan. Tanpa mereka, kita akan kehilangan “server utama” yang menopang jaringan karakter bangsa. Sayangnya, kesenjangan kesejahteraan guru RA tidak hanya mencerminkan masalah ekonomi, tetapi juga bias struktural yang menganggap pendidikan usia dini sebagai sektor “kelas dua.”
Untuk meretas jalan keluar, diperlukan gerakan sosial-politik yang memperjuangkan kesejahteraan guru RA. Ini bukan sekadar isu kebijakan teknokratis, tetapi juga soal moralitas kolektif. Apresiasi verbal dalam pidato peringatan Hari Guru tidak akan cukup. Kita membutuhkan kebijakan yang terukur dan konkret: peningkatan anggaran pendidikan untuk sektor usia dini, skema insentif berbasis kinerja, serta integrasi guru RA ke dalam sistem jaminan sosial nasional.
Sebagai masyarakat, kita juga memiliki tanggung jawab kolektif. Jika kita memandang pendidikan sebagai investasi, maka mendukung kesejahteraan guru RA adalah langkah strategis untuk memastikan “return on investment” yang berkelanjutan. Teknologi dapat menjadi alat untuk memobilisasi kesadaran publik, melalui kampanye daring yang mendesak perubahan kebijakan, atau platform crowdfunding untuk mendukung kesejahteraan guru di daerah-daerah terpencil.
Peringatan Hari Guru 2024 adalah momentum untuk merekonstruksi cara pandang kita terhadap pendidikan usia dini. Guru RA bukan sekadar “pengasuh anak-anak,” tetapi adalah pemimpin perubahan dalam ekosistem pendidikan nasional. Mereka adalah pionir yang mendesain “blueprint” karakter generasi bangsa di tengah tantangan zaman. Namun, mereka tidak bisa terus bekerja dalam bayang-bayang ketidakadilan.
Jika bangsa ini serius dalam membangun generasi emas 2045, maka langkah pertama adalah memastikan bahwa para arsitek masa depan—guru-guru RA—memiliki kehidupan yang layak dan bermartabat. Mereka telah membuktikan dedikasi mereka tanpa pamrih. Saatnya kita, sebagai bangsa, memberikan balasan yang setimpal. Jangan biarkan mereka terus menjadi pahlawan tanpa jaminan. Sebab, masa depan bangsa tidak hanya dibangun di gedung-gedung pencakar langit, tetapi dimulai dari ruang-ruang kecil Raudhatul Athfal.