Oleh:
Wilson Lalengke
Wilson Lalengke
Seorang
ibu di Medan saat ini sedang digiring ke meja hijau. Namanya Febi Nur Amelia
(29). Ia didakwa melanggar pasal 45 ayat (3) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE,
terkait perbuatan pencemaran nama baik. Dikutip dari kumparan.com, perkara
muncul karena Febi menagih utang ke temannya, Fitriani Manurung, sebesar Rp 70
juta lewat Instastory (media sosial Instagram).
ibu di Medan saat ini sedang digiring ke meja hijau. Namanya Febi Nur Amelia
(29). Ia didakwa melanggar pasal 45 ayat (3) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE,
terkait perbuatan pencemaran nama baik. Dikutip dari kumparan.com, perkara
muncul karena Febi menagih utang ke temannya, Fitriani Manurung, sebesar Rp 70
juta lewat Instastory (media sosial Instagram).
Postingan
Instastory dengan akun @feby25052 yang dipersoalkan berbunyi: “Seketika
teringat sama ibu kombes yg belum bayar hutang 70 juta tolong bgt donk ibu
dibayar hutangnya yg sudah bertahun-tahun @fitri_bakhtiar. Aku sih y orangnya
gk ribet klo lah mmng punya hutang ini orang susah bgt pastinya aku ikhlaskan
tapi berhubung beliau ini kaya raya jadi harus diminta donk berdosa juga klo
hutang gk dibayar kan @fitri_bakhtiar. Nah ini yg punya hutang 70 juta ini foto
diambil sewaktu dibandarjakarta horor klo ingat yg beginian mati nanti bakal
ditanya lho soal hutang piutang.” (@fitri_bakhtiar adalah Firiani Manurung –
red).
Instastory dengan akun @feby25052 yang dipersoalkan berbunyi: “Seketika
teringat sama ibu kombes yg belum bayar hutang 70 juta tolong bgt donk ibu
dibayar hutangnya yg sudah bertahun-tahun @fitri_bakhtiar. Aku sih y orangnya
gk ribet klo lah mmng punya hutang ini orang susah bgt pastinya aku ikhlaskan
tapi berhubung beliau ini kaya raya jadi harus diminta donk berdosa juga klo
hutang gk dibayar kan @fitri_bakhtiar. Nah ini yg punya hutang 70 juta ini foto
diambil sewaktu dibandarjakarta horor klo ingat yg beginian mati nanti bakal
ditanya lho soal hutang piutang.” (@fitri_bakhtiar adalah Firiani Manurung –
red).
Di
Sumatera Barat, Sudarto ditangkap atas delik pasal UU yang sama. Aktivis
pluralisme itu dinilai telah meresahkan masyarakat di dua kabupaten (Sijunjung
dan Dharmasraya) akibat beberapa postingannya di media sosial terkait
pelarangan perayaan natal di dua wilayah tersebut.
Sumatera Barat, Sudarto ditangkap atas delik pasal UU yang sama. Aktivis
pluralisme itu dinilai telah meresahkan masyarakat di dua kabupaten (Sijunjung
dan Dharmasraya) akibat beberapa postingannya di media sosial terkait
pelarangan perayaan natal di dua wilayah tersebut.
“Tersangka
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian”. Demikian keterangan Kabid Humas Polda
Sumatera Barat Kombes Stefanus Satake Bayu. Sayangnya tidak didapatkan
informasi tentang pihak yang melaporkan Sudarto ke polisi berkenaan kasus ini.
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian”. Demikian keterangan Kabid Humas Polda
Sumatera Barat Kombes Stefanus Satake Bayu. Sayangnya tidak didapatkan
informasi tentang pihak yang melaporkan Sudarto ke polisi berkenaan kasus ini.
Sebelum
ini, sudah tidak terhitung lagi korban yang berjatuhan oleh UU ITE
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) itu. Sebutlah beberapa yang
sempat mencuat ke permukaan, seperti kasus Prita Mulyasari versus RS Omni
International Tangerang tempat ia berobat, Baiq Nuril Maknun versus Kepsek SMAN
7 Mataram tempat ia bekerja sebagai honorer, dan Galih Ginanjar versus mantan
istrinya, Fairuz A Rafiq.
ini, sudah tidak terhitung lagi korban yang berjatuhan oleh UU ITE
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) itu. Sebutlah beberapa yang
sempat mencuat ke permukaan, seperti kasus Prita Mulyasari versus RS Omni
International Tangerang tempat ia berobat, Baiq Nuril Maknun versus Kepsek SMAN
7 Mataram tempat ia bekerja sebagai honorer, dan Galih Ginanjar versus mantan
istrinya, Fairuz A Rafiq.
Di
kalangan jurnalis atau wartawan, jerat UU ITE juga sungguh luar biasa. Korban
yang tersengat oleh UU ini hampir merata di seluruh nusantara. Sebutlah kasus
Umar Effendi dan Mawardi, wartawan beritaatjeh.net di Lhokseumawe, Slamet
Maulana, wartawan beritarakyat.com di Sidoarjo, dan Supriadi Dadu, wartawan
media cetak di Bolaang Mongondow. Yang paling tragis adalah kasus wartawan
Sinar Pagi Baru, Muhammad Yusuf, yang meregang nyawa di penjara akibat delik UU
ITE.
kalangan jurnalis atau wartawan, jerat UU ITE juga sungguh luar biasa. Korban
yang tersengat oleh UU ini hampir merata di seluruh nusantara. Sebutlah kasus
Umar Effendi dan Mawardi, wartawan beritaatjeh.net di Lhokseumawe, Slamet
Maulana, wartawan beritarakyat.com di Sidoarjo, dan Supriadi Dadu, wartawan
media cetak di Bolaang Mongondow. Yang paling tragis adalah kasus wartawan
Sinar Pagi Baru, Muhammad Yusuf, yang meregang nyawa di penjara akibat delik UU
ITE.
Pemenjaraan
warga masyarakat berbasis UU ITE bernuansa politik tidak kalah hebatnya. Buni
Yani, Ahmad Dhani, dan Bambang Tri Mulyono adalah beberapa di antaranya. Tidak
kurang dari delapan orang didakwa melanggar UU ITE terkait peristiwa
penyerangan terhadap Wiranto beberapa waktu lalu. Bahkan, seorang Dandim harus
rela dicopot jabatannya akibat ciutan istrinya terkait penusukan Wiranto di
Pandeglang tersebut.
warga masyarakat berbasis UU ITE bernuansa politik tidak kalah hebatnya. Buni
Yani, Ahmad Dhani, dan Bambang Tri Mulyono adalah beberapa di antaranya. Tidak
kurang dari delapan orang didakwa melanggar UU ITE terkait peristiwa
penyerangan terhadap Wiranto beberapa waktu lalu. Bahkan, seorang Dandim harus
rela dicopot jabatannya akibat ciutan istrinya terkait penusukan Wiranto di
Pandeglang tersebut.
Terlepas
dari proses hukum yang sudah dan sedang berjalan, patut kita bertanya apakah UU
ITE ini berfungsi dengan benar dalam mewujudkan tujuan hukum yang ingin
dicapai? Jika pelanggar sebuah peraturan semakin banyak jumlahnya, maka dapat
diduga bahwa aturan tersebut gagal (failure). Dengan kata lain, jika sebuah UU
tidak mampu memaksa masyarakat untuk tidak melakukan sebuah perbuatan yang
dilarang, tidak menimbulkan efek jera bagi orang lain, maka UU tersebut mesti
dipertanyakan keabsahannya.
dari proses hukum yang sudah dan sedang berjalan, patut kita bertanya apakah UU
ITE ini berfungsi dengan benar dalam mewujudkan tujuan hukum yang ingin
dicapai? Jika pelanggar sebuah peraturan semakin banyak jumlahnya, maka dapat
diduga bahwa aturan tersebut gagal (failure). Dengan kata lain, jika sebuah UU
tidak mampu memaksa masyarakat untuk tidak melakukan sebuah perbuatan yang
dilarang, tidak menimbulkan efek jera bagi orang lain, maka UU tersebut mesti
dipertanyakan keabsahannya.
Setiap
orang dapat saja beragumen bahwa semakin banyak pembunuh, pencuri, perampok,
pengedar narkoba, dan tindak kriminal lainnya, padahal sudah ada UU atau KUHP
yang melarangnya. Apakah itu berarti UU tidak berfungsi alias gagal? Ya, hampir
semua UU, untuk tidak mengatakan semua, yang berlaku di negara ini tidak
berfungsi sebagaimana mestinya alias gagal total. Buktinya? Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan kalang-kabut dalam menyediakan ruang tahanan yang makin hari makin
sumpek kelebihan muatan (over capacity).
orang dapat saja beragumen bahwa semakin banyak pembunuh, pencuri, perampok,
pengedar narkoba, dan tindak kriminal lainnya, padahal sudah ada UU atau KUHP
yang melarangnya. Apakah itu berarti UU tidak berfungsi alias gagal? Ya, hampir
semua UU, untuk tidak mengatakan semua, yang berlaku di negara ini tidak
berfungsi sebagaimana mestinya alias gagal total. Buktinya? Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan kalang-kabut dalam menyediakan ruang tahanan yang makin hari makin
sumpek kelebihan muatan (over capacity).
Bercermin
dari bangsa-bangsa maju lainnya di dunia, seperti Jepang, Belanda, dan Swedia,
yang tingkat kriminalitas warganya amat rendah, tentu ada resep ‘Undang-Undang’
ampuh yang semestinya dapat diterapkan di bangsa kita. Tugas para pemangku
kepentingan hukumlah yang harus mempelajari dan mencoba mengaplikasikannya
dalam pengendalian perilaku warga masyarakat di negara ini.
dari bangsa-bangsa maju lainnya di dunia, seperti Jepang, Belanda, dan Swedia,
yang tingkat kriminalitas warganya amat rendah, tentu ada resep ‘Undang-Undang’
ampuh yang semestinya dapat diterapkan di bangsa kita. Tugas para pemangku
kepentingan hukumlah yang harus mempelajari dan mencoba mengaplikasikannya
dalam pengendalian perilaku warga masyarakat di negara ini.
Kembali ke
persoalan UU ITE. Sudah banyak orang yang mempertanyakan dan meminta peninjauan
kembali UU ITE, bahkan meminta penghapusan pasal-pasal yang terkait dengan
penyebaran informasi oleh masyarakat. Sejak 2009 hingga kini, telah beberapa
kali dilakukan pengajuan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi,
khususnya pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tersebut. Namun gagal, JR selalu ditolak MK.
persoalan UU ITE. Sudah banyak orang yang mempertanyakan dan meminta peninjauan
kembali UU ITE, bahkan meminta penghapusan pasal-pasal yang terkait dengan
penyebaran informasi oleh masyarakat. Sejak 2009 hingga kini, telah beberapa
kali dilakukan pengajuan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi,
khususnya pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tersebut. Namun gagal, JR selalu ditolak MK.
Tanpa
bermaksud mengurangi penghormatan kepada pembuat UU ITE dan MK, namun secara
kasat mata, dengan logika sederhana, kita dapat menyimpulkan beberapa hal
tentang UU ITE, sebagai berikut:
bermaksud mengurangi penghormatan kepada pembuat UU ITE dan MK, namun secara
kasat mata, dengan logika sederhana, kita dapat menyimpulkan beberapa hal
tentang UU ITE, sebagai berikut:
1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan
dengan UUD 1945. Pasal 28F dari UUD ini menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.” Dalam pasal ini jelas tersurat bahwa setiap orang
berhak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.” Hanya manusia dengan akal sakit yang mengatakan bahwa pasal 27
ayat (3) UU ITE itu tidak bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945.
dengan UUD 1945. Pasal 28F dari UUD ini menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.” Dalam pasal ini jelas tersurat bahwa setiap orang
berhak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.” Hanya manusia dengan akal sakit yang mengatakan bahwa pasal 27
ayat (3) UU ITE itu tidak bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945.
2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak sejalan
dengan TAP MPR RI Nomor XVII Tahun 1998. Pasal 14 dari TAP MPR ini menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai
hati Nurani”. Selanjutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat dipertegas lagi
dalam pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 21 memberi pengakuan yang sejalan
dengan pasal 28F UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan menggunakan akal sehat
yang sederhanapun, dengan mudah dapat dilihat bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE
telah mengangkangi pasal-pasal yang termaktub dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun
1998 ini.
dengan TAP MPR RI Nomor XVII Tahun 1998. Pasal 14 dari TAP MPR ini menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai
hati Nurani”. Selanjutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat dipertegas lagi
dalam pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 21 memberi pengakuan yang sejalan
dengan pasal 28F UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan menggunakan akal sehat
yang sederhanapun, dengan mudah dapat dilihat bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE
telah mengangkangi pasal-pasal yang termaktub dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun
1998 ini.
3. Pasal 27 ayat (3) UU ITE kontradiktif
dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pada pasal 23 ayat (2)
dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Selanjutnya,
pasal 67 UU HAM ini menegaskan tentang kewajiban dasar setiap warga negara
Indonesia dengan menyatakan bahwa “Setiap orang yang ada di wilayah negara
Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kewajiban untuk mematuhi UU HAM dan
Deklarasi HAM PBB juga dibebankan kepada Pemerintah, sebagaimana bunyi pasal 71
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pada hakekatnya penggunaan UU ITE untuk meniadakan HAM mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat merupakan pelanggaran serius terhadap UU Nomor 39
Tahun 1999 ini, alias kontradiksi antar UU.
dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pada pasal 23 ayat (2)
dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Selanjutnya,
pasal 67 UU HAM ini menegaskan tentang kewajiban dasar setiap warga negara
Indonesia dengan menyatakan bahwa “Setiap orang yang ada di wilayah negara
Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kewajiban untuk mematuhi UU HAM dan
Deklarasi HAM PBB juga dibebankan kepada Pemerintah, sebagaimana bunyi pasal 71
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pada hakekatnya penggunaan UU ITE untuk meniadakan HAM mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat merupakan pelanggaran serius terhadap UU Nomor 39
Tahun 1999 ini, alias kontradiksi antar UU.
4. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak sejalan
dengan Piagam HAM PBB. Pasal 19 Piagam HAM PBB menetapkan bahwa “Setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini
termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan
cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. (Article 19: Everyone has
the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to
hold opinions without interference and to seek, receive and impart information
and ideas through any media and regardless of frontiers)”. Penerapan UU ITE
yang jelas-jelas mengingkari Piagam HAM PBB itu menjadi salah satu penyebab
Indonesia selalu mendapat nilai buruk oleh Badan HAM Internasional dalam
implementasi HAM di bangsa ini.
dengan Piagam HAM PBB. Pasal 19 Piagam HAM PBB menetapkan bahwa “Setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini
termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan
cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. (Article 19: Everyone has
the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to
hold opinions without interference and to seek, receive and impart information
and ideas through any media and regardless of frontiers)”. Penerapan UU ITE
yang jelas-jelas mengingkari Piagam HAM PBB itu menjadi salah satu penyebab
Indonesia selalu mendapat nilai buruk oleh Badan HAM Internasional dalam
implementasi HAM di bangsa ini.
5. Pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1)
UU ITE secara sadar atau tidak telah menjadi tembok pengaman bagi pelaku tindak
kriminal. Dalam banyak kasus yang bergulir ke pengadilan terkait pelanggaran
pasal 27 ayat (3) UU ITE, para terdakwa dihukum karena telah menyampaikan
informasi penting tentang perilaku jahat yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Jikapun belum masuk ranah tindak pidana, namun perilaku oknum yang
‘dipublikasikan’ warga itu merupakan sikap dan tindakan yang tidak pantas,
melanggar tata krama, dan tidak bermoral. Oknum obyek pemberitaan selalu akan
menggunakan UU ITE sebagai pisau untuk menusuk balik sang penyampai informasi
tentang kebejatan perilakunya. Sayangnya, banyak oknum aparat hukum yang
memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
UU ITE secara sadar atau tidak telah menjadi tembok pengaman bagi pelaku tindak
kriminal. Dalam banyak kasus yang bergulir ke pengadilan terkait pelanggaran
pasal 27 ayat (3) UU ITE, para terdakwa dihukum karena telah menyampaikan
informasi penting tentang perilaku jahat yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Jikapun belum masuk ranah tindak pidana, namun perilaku oknum yang
‘dipublikasikan’ warga itu merupakan sikap dan tindakan yang tidak pantas,
melanggar tata krama, dan tidak bermoral. Oknum obyek pemberitaan selalu akan
menggunakan UU ITE sebagai pisau untuk menusuk balik sang penyampai informasi
tentang kebejatan perilakunya. Sayangnya, banyak oknum aparat hukum yang
memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
6. Pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1)
UU ITE memberangus demokrasi. UU ITE sering dijadikan alat bagi para pejabat
untuk menjerat warganya ke ranah hukum. Sebagian lagi menjadikan UU ini untuk
menakut-nakuti warga agar sang pejabat tetap aman dalam melakukan tindak
kejahatannya. Screen shot tulisan bernada kritis rakyat kepada pejabat dan
pemimpinnya sering dijadikan barang bukti untuk memenjarakan warga masyarakat
yang sudah memilih mereka menjadi pejabat. Ungkapan kekecewaan rakyat terhadap
kepemimpinan pejabat sering menghantarkan si rakyat yang memberi makan
pejabatnya itu harus berurusan dengan UU ITE di pengadilan. Keberadaan UU ITE
benar-benar efektif dalam membungkam suara rakyat.
UU ITE memberangus demokrasi. UU ITE sering dijadikan alat bagi para pejabat
untuk menjerat warganya ke ranah hukum. Sebagian lagi menjadikan UU ini untuk
menakut-nakuti warga agar sang pejabat tetap aman dalam melakukan tindak
kejahatannya. Screen shot tulisan bernada kritis rakyat kepada pejabat dan
pemimpinnya sering dijadikan barang bukti untuk memenjarakan warga masyarakat
yang sudah memilih mereka menjadi pejabat. Ungkapan kekecewaan rakyat terhadap
kepemimpinan pejabat sering menghantarkan si rakyat yang memberi makan
pejabatnya itu harus berurusan dengan UU ITE di pengadilan. Keberadaan UU ITE
benar-benar efektif dalam membungkam suara rakyat.
Akhirnya,
jika kondisi ini terus dibiarkan berlanjut, tidak mustahil suatu saat nanti
negeri ini sepi dari suara rakyat. Pada saat itu, yang terdengar hanya ajakan
mari menundukkan kepala sambil berucap, “Turut berbelasungkawa atas kematian
demokrasi Indonesia”. Rest in Peace Bro! (*)
jika kondisi ini terus dibiarkan berlanjut, tidak mustahil suatu saat nanti
negeri ini sepi dari suara rakyat. Pada saat itu, yang terdengar hanya ajakan
mari menundukkan kepala sambil berucap, “Turut berbelasungkawa atas kematian
demokrasi Indonesia”. Rest in Peace Bro! (*)